Sebuah tayangan televisi nasional bertajuk ‘Insight Papua’ edisi
Sabtu (3/8/2013) mengangkat kerukunan hidup antarumat beragama di Papua.
Tepatnya di Fak Fak, sebuah kota kecil di Provinsi Papua Barat.
Kerukunan itu lahir dari sebuah filosofi yang berakar pada nilai-nilai
budaya lokal ‘
Tiga Batu Satu Tungku. (Lihat link:
http://www.youtube.com/watch?v=9CoPtrgiufw )
Nyaris serupa dengan filosofi pembangunan di Provinsi Nusa Tenggara Timur ‘
Tiga Batu Tungku’
pada era kepemimpinan Gubernur Piet A. Tallo (alm.). Bedanya, filosofi
‘Tiga Batu Tungku’ di NTT diaplikasikan untuk mensinergikan tiga aspek
pembangunan prioritas saat itu, yaitu ekonomi, pendidikan, dan
kesehatan.
Sementara filosofi ‘Tiga Batu Satu Tungku’ di Fak Fak, Papua Barat untuk mendeskripsikan prinsip hidup warga Papua dalam
menjaga keseimbangan dan kebersamaan hidup,
antara lain melalui penghormatan yang tinggi terhadap pentingnya
kerukunan hidup antarumat beragama yang ada di daerah itu, yakni Islam,
Kristen, dan Katolik.
‘Tungku’ adalah kebersamaan hidup. ‘Tiga
Batu’ adalah simbol dari tiga agama besar yang ada di daerah itu, yaitu
Kristten, Katolik, dan Islam. Mereka meyakini, jika keseimbangan itu
tetap terjaga stabil, maka semua persoalan hidup dapat diatasi dengan
baik.
Semboyan ‘Tiga Batu Satu Tungku’ juga berarti sinergi yang
harmonis antara tiga elemen masyarakat dalam pembangunan, yaitu Adat,
Agama, dan Pemerintah. Sinergi artinya mengelola perbedaan agar tidak
menimbulkan perpecahan. Pemkab Fak Fak juga menjadikan ‘Tiga Batu Satu
Tungku’ sebagai modal dasar pembangunan di daerahnya. Kebebasan beragama
sangat dijunjung tinggi oleh masyarakat Fak Fak.
Simon Bruno Hindom, tokoh masyarakat Fak Fak (Foto: olahan tayangan Metro TV)
“Marga
saya Hindom, saya beragama Katolik, tetapi saudara saya ada yang
Muslim, dan ada yang Kristen Protestan...Anak saya ingin kawin dengan
anak yang berkeyakinan lain, maka kami harus saling menghormati,” ungkap
Simon Bruno Hindom, tokoh masyarakat Fak Fak.
Kerukunan itu juga
dipraktikan dalam perayaan hari-hari besar keagamaan. Warga Muslim
sering diundang perayaan Natal. Demikianpun sebaliknya.
“Dalam
keluarga saya, ada yang Muslim dan ada yang Kristen. Kami saling
menghormati satu sama lain, dan sudah biasa buka puasa bersama seperti
ini,” kata Sirzeth Gwas Gwas yang tengah menikmati acara berbuka puasa
di rumah saudaranya yang Muslim.
Dengan 60 persen warganya yang
menganut agama Islam, Fak Fak menjadi satu-satunya kabupaten di Provinsi
Papua Barat dengan pemeluk Islam terbesar. Sementara
kabupaten-kabupaten lainnya mayoritas beragama Kristen dan Katolik.
suasana bukber dalam keluarga Fak Fak yang anggota keluarganya berbeda keyakinan (Foto : olahan tayangan Metro tv)
Dalam
konteks kebersamaan, suku Bahamata adalah sebutan untuk masyarakat asli
Fak Fak, baik yang tinggal di pegunungan, pantai, Kota dan pulau-pulau
kecil. Namun untuk kebersamaan, warga asli Fak Fak menganggap warga non
Papua sebagai warga Bahamata juga. Kebanyakan mereka berasal dari Jawa,
Sumatera, Sulawesi dan Maluku.
Dengan komposisi penduduk seperti
itu, filosofi ‘Satu Tungku Tiga Batu’ di Fak Fak terasa begitu relevan
untuk terus dipertahankan sampai kapanpun, agar dalam keseharian
interaksi sosial mereka bisa berlangsung tanpa sekat. Sebuah kearifan
lokal
(local wisdom) yang patut ditiru.
salah satu ornamen dalam Masjid Patimburak (Foto: olahan tayangan Metro tv)
Hal
itu ada berkat pemikiran cerdas para visioner Fak Fak tiga abad yang
lalu. Prinsip ‘Satu Tungku Tiga Batu’ itu juga mereka visualisasikan
dalam bangunan Masjid yang dibangun persis di bibir pantai Kampung
Patimburak (100 kilo meter dari Kota Fak Fak) yang memadukan bentuk
Masjid dan Gereja. Bangunan dan ornamen Masjid itu menjadi simbol
toleransi penuh makna. Konon, Masjid itu sudah ada sejak tahun 1700-an.
Semoga
filosofi sederhana ‘Satu Tungku Tiga Batu’ dari Fak Fak ini bisa
menginspirasi seluruh anak bangsa untuk menjaga kerukunan umat beragama
di Tanah Air. Meskipun berbeda-beda tetapi tetap satu.
Sumber;
http://www.kompasiana.com